Pandu van Java

Belajar, Berbakti, dan Berjuang

Menulis Itu Menyenangkan

| Comments

Writing

Michael Crichton, penulis novel “Jurassic Park” memberikan motivasi tentang menulis dengan kalimat-kalimat ini: “Sebuah karya akan memicu inspirasi. Teruslah berkarya. Jika Anda berhasil, teruslah berkarya. Jika Anda gagal, teruslah berkarya. Jika Anda tertarik, teruslah berkarya. Jika Anda bosan, teruslah berkarya.”

Menurut saya, menulis itu sangat menyenangkan. Karena apa? Karena kita bisa menuangkan banyak ide yang menumpuk di benak kita menjadi sebuah tulisan yang bisa dibaca banyak orang. Kita tidak menikmatinya sendiri. Kita bisa berbagi cerita. Cerita sedih dan bahagia sama nikmatnya untuk dibagikan. Bukankah itu sesuatu yang menyenangkan?

Bagi saya sendiri, menulis adalah bagian dari menyampaikan dakwah. Sungguh sangat menyenangkan bisa memberikan yang terbaik buat orang lain. Saya menikmati setiap kata dan kalimat untuk disampaikan kepada orang lain. Saya menulis tanpa beban berat. Itu sebabnya, saya ingin berbagi dengan teman-teman bagaimana sih agar menulis terasa menyenangkan. Nggak jadi beban, gitu lho.

Nah, ada beberapa alasan mengapa menulis adalah pekerjaan yang menyenangkan, setidak-tidaknya menulis memiliki beberapa kelebihan ketimbang berbicara, yakni sebagai berikut:

Pertama, dengan menulis kita bisa menyampaikan gagasan secara teratur dan dengan pilihan kata yang pas. Coba deh bikin surat untuk ijin nggak bisa sekolah karena sakit buat wali kelasmu. Pastinya ketika menuliskan surat itu nggak sembarangan. Kita akan merunut permasalahan. Nggak tiba-tiba bin ujug-ujug nulis, “Hanya satu kata: Sakit!”. Wah, nggak mungkin kan. Kita akan menuliskan dulu ungkapan penghormatan kepada wali kelas kita. Terus kita mulai menuliskan alasan tidak bisa masuk sekolah pada hari tersebut, sambil disertai permohonan maaf. Nah, di sini pasti menggunakan kata yang enak untuk dibaca. Bayangin deh kalo kita langsung bicara, selain nggak memungkinkan karena sakit, juga belum tentu pas ngomong selancar ketika kita nulis. Karena ada “gangguan psikologis”. Malu en takut, misalnya. Betul nggak?

Kedua, menulis memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menilai pendapat kita secara lebih leluasa dan mungkin secermat mungkin. Sehingga didapat persepsi yang utuh. Saya pikir ini salah satu kelebihan dalam menulis. Contohnya adalah ketika kita bertukar pendapat dengan orang lain dalam sebuah diskusi via e-mail dalam grup mailing list atau menjawab komentar pengunjung blog kita. Kita akan menuliskan argumentasi tanpa perlu merasa terbebani akan disanggah atau dicela di saat kita sedang menulis pendapat kita. Kita akan kerahkan semua kemampuan yang kita miliki untuk menjelaskan topik yang sedang didiskusikan. Bila perlu sedetil-detilnya biar apa yang kita sampaikan diserap dengan utuh oleh lawan diskusi kita. Bayangin deh kalo kita ngobrol langsung. Pastinya “ubun-ubun” kita ngebul terus kalo pas lagi omongan sering dipotong lawan bicara kita. Kalo sama-sama ngotot, diskusi bisa mengarah kepada “debat kusir”. Aduh, tadinya mau ngasih penjelasan malah jadi “berantem”. Nggak asyik banget kan? Eh, sebenarnya diskusi di mailing list atau blog pun bisa jadi debat kusir kalo sama-sama nggak mau ngalah dan mengakui kesalahannya dan ogah mengikuti kebenaran yang diajukan lawan diskusinya. Tetapi setidaknya dengan menulis, akan lebih ditata terlebih dahulu agar lebih baik penyampaiannya.

Ketiga, menulis akan membuat kita lebih efektif dalam mengopinikan gagasan kita kepada khalayak. Betul. Ini sangat saya sadari banget. Ketika menuliskan sebuah gagasan kadang perlu “bunga-bunga” alias “bumbu-bumbu” informasi yang bagus. Sementara, informasi bagus itu adakalanya tersimpan dalam sebuah buku atau kitab tertentu, sehingga perlu digali. Biar orang yakin dengan apa yang kita sampaikan, maka kita kudu mencantumkan sumber informasi tersebut. Pada saat seperti inilah kita dituntut untuk lebih kreatif dalam mengkomunikasikannya. Supaya data-data itu nggak “mati”, maka butuh teknik untuk menyampaikannya. Bisa saja dengan gaya bahasa yang asyik dan nggak kaku sehingga membuat kesan tak menggurui pembaca kita. Tentu saja, kalo kita bicara rasa-rasanya sangat lucu jika disampaikan, “Menurut keterangan dalam sebuah kitab, halaman sekian, cetakan kesekian, karya sia anu”. Waduh, menurut saya sih itu nggak pada tempatnya. Kurang gereget.

Keempat, tentu saja menulis adalah sebagai alat bantu yang cukup ampuh bagi yang kurang terbiasa berbicara. Saya pernah mendapati seseorang yang sangat lihai dalam menulis. Kalo doi udah menulis, lancar banget tuh mengalirkan ide-idenya lewat jalinan informasi yang berhasil dirangkainya dalam kata dan kalimat yang enak dibaca. Tapi mohon maaf saja, ketika doi diminta untuk mengisi sebuah kajian, saya sampe nggak sabar menunggu informasi keluar dari mulutnya. Lama banget. Entah mikir, entah bingung mau ngeluarin infonya. Tapi yang jelas, ini kian mengukuhkan keyakinan bahwa menulis sangat ampuh bagi yang tak terbiasa bicara. Jujur saja, saya sendiri sejak kecil tak terbiasa untuk menyampaikan pendapat dengan berbicara. Saya lebih banyak menulis untuk menyampaikan pendapat saya, untuk menyampaikan segala keinginan saya, untuk mengungkapkan rasa kesal, marah, sedih, kecewa, dan gembira dengan menulis. Emang sih, ada juga orang yang menulis sama baiknya dengan bicara, tapi itu nggak banyak. Setahu saya, Prof Hamka adalah orang yang lidahnya setajam penanya. Bicaranya oke, nulisnya pun mantep. Semoga kita pun bisa memiliki keahlian seperti beliau. Insya Allah.

Sumber: O. Solihin

Komentar